Kampung Halaman

By: Isma

Matahari perlahan bergerak ke arah barat. Cahayanya tidak lagi menyengat tepat di atas kepala. Angin bukit berhembus sepoi-sepoi, menggerakkan pucuk-pucuk daun ketela di ladang milik penduduk. Beberapa orang petani masih asyik dengan tanah garapan mereka. Meski matahari sudah mulai bersembunyi di balik bukit. Menunjukkan siang telah berganti dengan sore.

“Aku pulang dulu ya, Mak!” teriak Wintolo dari pematang ladang.
“Ya. Hati-hati!” jawab Mamak Wintolo.

Dan bocah berusia sebelas tahun itu segera meninggalkan ladang. Dengan lincah ia berlari-lari kecil menyisir tepi bukit. Ia melewati jalan setapak yang naik turun. Sesekali kakinya yang tak beralas menginjak batu bukit. Tapi injakan itu tidak menyisakan rasa sakit pada kakinya. Ia sudah terbiasa. Dan lagi, memang begitulah kampung halamannya. Sebuah dusun dengan seribu bukit.

Di dusun Koro, tempat Wintolo lahir, hampir tidak ada tanah datar yang membentang luas. Sejauh mata memandang, gundukan bukit berbatu kapur tampak berdiri dengan angkuh. Bentuknya seperti beton semen, menyerupai benteng kerajaan. Jika malam datang, bukit-bukit itu akan tampak seperti bayangan raksasa hitam yang menyeramkan. Pada masing-masing bukit biasanya ada rongga seperti goa. Orang-orang dusun menyebutnya luweng.

.......
pada saatnya cerita ini akan aku lanjutkan, tentang kerah-kerah yang mencipta langit, bumi, dan awan.

0 comments:

 
langit, bumi, dan awan Blog Design by Ipietoon